Day Afternoon terbentuk di Jakarta pada 13 September 2006. Berawal dari sekelompok mahasiswa yang memiliki kebiasaan mengisi waktu luang kuliah pada sore hari dengan berkumpul di pelataran kantin Universitas Nasional.
Tercetus nama Day Afternoon yang berarti senja hari, karena memang hampir setiap sore hari berkumpul dan berekspresi menyuarakan kebebasan lewat bermusik. Secara kebetulan seluruh personil adalah mahasiswa dari universitas tersebut yang memiliki cara pandang dan kesaaman dalam bermusik. Reggae adalah genre yang diusung oleh Day Afternoon.
Musik Day Afternoon memiliki warna yang dipengaruhi oleh musisi-musisi nasional dan internasional seperti Koes Plus, Tony Q Rastafara, Warkop DKI, The Rollies, Bob Marley and The Wailers, Alpha Blondy, Doreen Shafer, The Skatalities, Jimi Hendrix, Eric Clapton, Billie Holiday, Louis Armstrong dan lainnya. Dengan adanya perpaduan antara jazz, blues, ska, pop, hingga keroncong membuat musik Day Afternoon sedikit berbeda dengan reggae kebanyakan.
Beberapa lagu yang dimiliki Day Afternoon seperti Keroncong Perpisahan, Hari Setalah Senja, Sendiri, dan Rasa Cinta tergabung dalam album perdana yang bertajuk Manis Jamboe (rilis tahun 2013).
Para personil adalah, B.A Priambodo (vokal), Kania Anggraini (vokal dan suara Latar), Rainaldo Tastau Imbiri (gitar dan suara latar), Muflih Perdana Putra (gitar dan suara latar), Ferry Salman Alfarizi (keyboard dan sampling), Aradhea (perkusi), Ario Seto (drum), dan Sahlur Ridho (bass).
Ras Muhamad baru saja merampungkan buku "Negeri Pelangi". Sadar atau tidak buku tersebut menjawab banyak kritikan yang dialamatkan kepadapnya manakala menyebut diri sebagai Duta Reggae Indonesia.
Buku setebal 188 halaman ini bercerita tentang perjalanan Ras Muhamad ke Ethiopia, negerinya Haile Selassie. Membacanya tidak membosankan. Kita seperti diajak ikut berpetualang ke negeri merah kuning hijau. Selain asyik dan menyenangkan, banyak pengetahuan yang disuguhkan.
Tak berlebihan kalau kita menyebutnya musisi reggae yang radikal. Radikal berasal dari kata radic yang berarti akar. Ras Muhamad menggali banyak cerita di negeri akar musik reggae. Cerita yang digali pun lumayan dalam. Sejumlah foto-foto perjalanan yang dimuat di buku itu seolah membawa kita turut serta dalam petualangannya.
Musik Pembebasan
Ras Muhamad musisi reggae yang tak hanya menggandrungi Bob Marley. Dia juga menggandrungi sejumlah orang-orang yang mengusung semangat pembebasan seperti Bung Karno, Che Guevara hingga Haile Selassie. Yang terakhir disebut orang yang sangat dikagumi Bob Marley.
Babak pertama buku itu bertajuk; Reggae! Identitas dan Musik Pembebasan. Ras tentu tak serampangan ketika memilih diksi PEMBEBASAN di awal cerita. Agaknya, bagi pria kelahiran Jakarta, 29 Oktober 1982, reggae bukan sekadar musik, lebih dari pada itu ia adalah alat perjuangan, sebagaimana syair-syair yang ditiupkan Bob Marley lewat lagu-lagunya.
Lihat saja syair emancipate your self from mental slavely Bob Marley dalam lagu Redemption Song. Bebaskan dirimu dari mental budak! Bukankah ini seruan pembebasan? Lagu-lagu gubahan Ras Muhamad dalam album Next Chapter juga mengusung semangat yang sama; pembebasan!
Gas Air Mata
Apa hendak dikata, peluncuran buku “Negeri Pelangi” Ras Muhamad, Minggu, 17 Februari 2013 di Teebox Cafe, Jl. Wijaya II No.123 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, porak-poranda. Bubar! Bukan karena diserbu sekelompok massa dari organisasi mana pun. Pesta kelahiran buku itu diporak-porandakan gas air mata.
“Hancur hati semalam. Dua bulan kerjaan dirusak gas air mata,” kata Ras Muhamad, penulis buku tersebut, Senin (18/2/2013) pagi tadi. Gas air mata ternyata memang mampu menumpahkan air mata.
Pendangan mata langsung di lokasi perhelatan, mulanya semua berjalan normal. Setelah matahari berpulang ke peraduan, satu persatu muda-mudi beratribut merah kuning hijau berdatangan ke Teebox. Beberapa orang berambut gimbal. Sejumlah awak media massa dengan perkakas liputannya juga tampak hadir. Mereka berbaur saling tegur sapa dan melempar senyum.
Malam semakin pekat. Lokasi semakin ramai. Para awak media dipersilahkan masuk. Acara itu memang dibuka dengan konfrensi pers dan bedah buku “Negeri Pelangi”. Pengamat musik, Bens Leo, bertindak sebagai moderator. Dia memimpin jalannya diskusi.
Sementara itu, massa di luar Teebox berkerumun di pintu. Menunggu dipersilahkan masuk. Dan memang pada akhirnya dipersilahkan masuk. Tapi tidak semua. Sebagian massa masih tertahan di luar.
Sampai sejauh ini situasi masih berjalan normal. Bahkan, Bens Leo mengapresiasi. “Baru kali ini saya lihat, konfrensi pers peluncuran sebuah buku dihadiri tak hanya oleh wartawan, tetapi juga oleh fans, komunitas. Ini peristiwa bersejarah,” katanya mengapresiasi dari meja moderator.
Tidak sampai di situ, setelah membedah isi buku itu dan proses kelahirannya, setelah sesi tanya jawab dengan wartawan usai, Bens Leo juga mempersilahkan fans yang hadir untuk bertanya. Dari air mukanya, Bens jelas nampak sumringah malam itu.
Kurang lebih sekitar pukul 21.00 acara bedah buku dan konfrensi pers usai. Ras Muhamad disalami sejumlah orang. Beberapa minta foto bersama. Suasana di dalam cafe yang tidak begitu besar itu hangat.
Sejurus kemudian, acara dilanjutkan dengan penampilan musik. Selain Ras Muhamad & The Easy Skankin Band, rencananya sejumlah band reggae juga tampil memeriahkan pesta kelahiran buku Negeri Pelangi, seperti Day Afternoon, Republik 21, Boys n Roots, Conrad Vibration.
Band pertama yang tampil Republik 21. Saat menyanyikan lagu pertama, tiba-tiba suasana di dalam ricuh. Tercium bau gas air mata. Orang-orang panik dan berteriak, “Gas...gas...gas air mata...”. Aroma gas itu sangat menyengat dan membuat sesak.
Orang-orang di dalam cafe, tempat acara sedang dihelat berhamburan keluar. Ternyata, sesampai di luar suasana tak kalah ricuh. Bukan ricuh karena kerusuhan baku hantam, tapi karena aroma gas air mata yang menyesakkan dan menumpahkan air mata.
Seorang perempuan nampak jatuh terkulai lemas. Beberapa orang lain memberi pertolongan. Semua sibuk dengan tingkahnya masing-masing. Kebanyakan dari mereka mencuci muka dan kumur-kumur, berbekal air mineral. Orang-orang berbagi air mineral. Saling membantu.
Bergumul dengan gas air mata bukan pertamakali bagi saya. Sewaktu demonstrasi semasa duduk di bangku kuliah dulu, sempatlah beberapa kali marasakan perih dan panasnya gas yang dilesatkan aparat keamanan itu.
Tapi, gas air mata yang semalam lain rasanya. Lebih panas dan menyesakkan. Entah jenisnya berbeda, saya tidak tahu pasti. Dugaan saya, karena aroma gas malam tadi membumbung di ruang tertutup.
Berdasarkan pengalaman waktu kuliah itulah saya langsung mencari odol untuk dioleskan di bawah mata. Ini dulu penawar gas air mata yang ampuh. Dan ternyata memang masih ampuh. Odol itu pun berpindah. Dari tangan satu ke tangan lainnya. Salah satunya di oleskan ke wajah Dodo, Vokalis Band Reggae "Day Afternoon" yang saya sempat lihat muntah-muntah di pinggir jalan, matanya masih merah dan berair ketika dia mengungkapkan kekesalan.
"Ngga bener nih, ini acara Buku dan musik Reggae, bukan kegiatan yang negatif, kan jelas buku itu bisa bikin komunitas reggae menjadi cerdas," tegas Dodo malam itu.
"Polisi langgar protap, buat apa gas air mata, di dalam ruangan tertutup banyak perempuan dan orang penuh sesak di dalam, ini konyol bisa mengakibatkan korban nyawa," ucap Dodo menambahkan.
Setelah bisa bernafas dengan lega, saya juga coba menyambangi sejumlah orang. Bertanya. Ada apa sebenarnya? Beragam jawaban. Namun tak ada satu pun jawaban yang mengarah bahwa terjadi kerusuhan di luar Teebox sebelum gas air mata itu meledak. Yang ada hanya akumulasi massa yang ingin masuk ke dalam cafe.
Beberapa orang mengatakan, tadi ada beberapa orang polisi. Tapi saya tidak melihatnya. Agaknya aparat sudah terlebih dahulu meninggalkan lokasi kejadian sebelum orang-orang dari dalam, termasuk saya, berhamburan keluar. Kejadiannya memang begitu cepat.
Acara bubar. Tak diteruskan. Apa pun perkaranya, semua yang hadir malam itu tentu punya versi cerita masing-masing. Yang pasti, sebagaimana pernyataan Bens Leo di awal acara, “Ini peristiwa bersejarah!”
Ya, ini memang peristiwa bersejarah. Riuh rendah kelahiran buku “Negeri Pelangi” pun jadi cerita. Ternyata, begitu lahir, karya memang punya jalannya sendiri. Dan karya itu sendiri pula yang memilih bagaimana caranya lahir.
GOR Bulungan, Blok M, Jakarta Selatan.
Taman Topi, Bogor, Jawa Barat.